Secara sekarang dah bisa OL 24 jam, unlimited pulak berkat Fastnet, aku jadi intip2 blog2 Hana yang terbengkalai--sorry, kid!
Dan, nemulah satu postingan yang bikin hati miris.
Sudah setahun lebih dua bulan Jidah nggak sama kami lagi. Aku pikir, aku dah lebih bisa nrima. Ternyata, kayaknya gak. Dari semua mimpiku tentang Jidah, gak ada satupun yang mengijinkan Jidah bener2 pergi. Semua isinya tentang Jidah yang sakit atau hampir meninggal tapi selalu berhasil sehat lagi. Ada yang dengan usaha kerasku (mengobati atau apa gt), ada yang dengan begitu aja.
Kayaknya alam bawah sadarku masih berharap kejadian itu salah. Bahwa Jidah, yang dibawa ke rumah sakit masih dengan duduk di jok depan mobil Oomku, nggak pulang dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Aku tau itu salah. Aku harus nerima takdir. Tapi, aku bener2 nggak nyangka. Jidah, yang sebelumnya pernah beberapa kali dibawa ke rumah sakit dengan ambulans, yang pernah koma dua hari lebih, yang pernah anjlok gula darahnya sampe 60 sebelum kakinya diamputasi, malam itu hanya sesak nafas biasa. Dibawa ke rumah sakit pun cuma supaya bisa dapet oksigen.
Dan, aku memilih di rumah karena menjaga Hana dan mau gantiin Mama jaga Jidah besok paginya di rumah sakit. Aku bilang ke Abi, "Bi, besok pagi2 anter aku ke rumah sakit ya. Soalnya Mama juga lagi gak sehat, biar bisa pulang dulu, istirahat."
Tapi, jam 22.50, Jidah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan, aku cuma bisa teriak kenceng--gak sadar kalo teriak sekenceng itu, bahkan sampe kedengeran sampe 5 rumah dari rumah kami. Aku gak ada di sana buat Jidah. Ya, aku nyesel. Nyesel banget.
Tapi, mungkin Allah memang menginginkan begitu. Entah kenapa, aku belum pernah sekali pun menemani keluargaku saat ruh mereka mennggalkan jasad. Pertama kali Nenek Buyutku, Jidah Condet begitu aku memanggilnya, meninggal kurang dari setengah jam setelah kami sekeluarga meninggalkan rumahnya. Kakekku, Njid, setengah jam setelah kami meninggalkan rumah sakit. Oomku, Oom Pipik, saat aku di perjalanan pulang dari kantor--pada waktu yang sama, tiba2 motor Abi dengan aku di boncengan nabrak batu di kawasan Sudirman tanpa sebab. Dan, yang terakhir Jidah.
Aku coba positif thinking aja. Jangan2 karena Allah tahu, aku akan lbh sulit nerima semua kalau aku menghadapi detik-detik terakhir kehidupan mereka.
Fiuh...keluar juga semua beban hatiku. Walo berlinang air mata nulisnya, aku lega.
Doain aku lebih kuat nerima kepergian Jidah ya...
Thanks, all.