Oct 24, 2007
Dia Tidak Punya Abah…

Dalam hidup, aku selalu dikelilingi wanita-wanita hebat, bukan hanya Jidah dan Mama, tapi juga Ibu Mertuaku yang biasa kupanggil Ummi (Mamanya si Abi).

Ummi adalah seorang wanita pemberani. Aku selalu tertakjub-takjub setiap mendengar kisah-kisah keberaniannya. Mulai dari menantang Polisi, Brimob, bahkan penjahat dalam angkot dan preman toko onderdil.

Kenapa Ummi sampai bisa seberani itu? Ternyata karena Ummi begitu berserah kepada Allah SWT.

Kata Ummi, “Kenapa musti takut? Ada Allah! Allah-lah yang akan menolong kita.”

Tapi, dari semua kisah Ummi-ku tercinta itu, ada satu kisah lainnya yang paling kusukai—Ummi senang sekali bercerita. Kisah satu ini melibatkan Alm. Abah-nya Ummi (Jid-nya Abi).

Begini ceritanya…

Pada suatu pagi, Ummi baru saja selesai bersiap-siap ke sekolah (Ummi masih SD). Ummi pun pamit kepada sang ayah yang biasa dipanggilnya Abah.

“Bah, saya jalan dulu ya…”

Ternyata Ummi mengharap uang saku seperti yang diberikan Abah kepada seorang anak yatim—kerabat Ummi—, si A (aku lupa namanya siapa, sorry) yang tinggal di rumah Ummi. Tapi, Abah tidak memberikan uang saku seperti harapan Ummi.

Lalu Ummi pun meminta, “Bah, boleh minta ongkos ya? Sekolah saya kan jauh…musti muter…”

“Tidak perlu, ya nisa annabi,” jawab Abah—Abah memanggil semua anak perempuannya dengan ‘nisa annabi.’

“Tadi si A dikasih uang jajan, padahal sekolahnya dekat.”

“Ya nisa, si A memang dapat uang saku, tapi dia tidak punya Abah. Kamu tidak punya uang saku, tapi kamu masih punya Abah,” seru Abah sambil berurai air mata dan memeluk Ummi.

Akhirnya, Ummi tak bisa berkata apa-apa dan justru ikut terharu.

Setiap kali Ummi menceritakan kisah yang ini, aku selalu merinding dan ingin menangis saja—alhamdulillah Ummi sering lupa sudah menceritakannya kepadaku, sehingga hatiku tersentuh lagi dan lagi.

Betapa kadang kita merasa kesal kepada anak-anak yatim—karena kadang ada beberapa yang salah arah karena tak dapat bimbingan orang tua. Tapi begitu jarang kita menyadari bahwa mereka tak berbapak—bahkan tak berbapak tak beribu jika yatim piatu.

Semestinya, kita lebih bisa memahami keadaan mereka. Dan, selanjutnya, bersyukur karena kita masih punya orang tua—lengkap. Lalu, jika mampu, membantu dan membimbing mereka semaksimal mungkin.

Labels:

 
ditulis oleh Nadiah Alwi - Write at Home Mom pada jam 12:58 | Permalink | 1 komentar
Oct 8, 2007
Ternyata Kerahimanlah yang Kupelajari dari Mereka

Mereka mengajarkan tanpa berniat mengajarkan. Mereka mencontohkan tanpa berniat mencontohkan. Tapi, alhamdulillah, aku belajar dari mereka dan aku berusaha mencontoh mereka.

Pelajaran itu adalah kerahiman*.

Dulu, kupikir mereka bodoh. Mereka pernah dihina dan ditindas oleh satu dua orang—yah, lebih juga sebenarnya—dalam hidup mereka. Tapi, kemudian, mereka tetap bisa tersenyum, bersikap sopan, bahkan menyantuni orang-orang tersebut.

Dan, ya, bagiku itu suatu kebodohan. Karena, mereka akan terus mendapat perlakuan semacam itu dari orang-orang tersebut. Mereka dianggap remeh. Toh, mereka takkan bisa marah. Paling kecewa sedikit. Yah, kalaupun orang-orang itu agak keterlaluan, paling-paling mereka hanya akan sedikit mengomel dan omelan itu berisi nasihat, bukan makian—mereka terlalu lembut untuk bisa memaki.

Tapi, ada satu dua hal yang berpengaruh terhadapku. Seperti misalnya, aku ikut kesal dan ikut sakit hati. Karenanya, aku pernah bersikap ekstrim. Aku menjaga jarak terhadap orang-orang itu—sejujurnya karena takut ‘meledak’ dan bersikap tidak sepantasnya karena emosi.

Tapi, itu dulu. Sekarang, aku sedang berproses menjadi seorang yang dewasa. Kuperhatikan semua yang menimpa mereka. Alhamdulillah, tidak menimpaku—ok, aku dapat ‘ujian’ dengan cara lain, jadi bukan berarti aku bebas cobaan :D. Dan, ternyata aku mulai seperti mereka. Aku bisa berbaik-baik lagi dengan orang-orang itu, aku bisa tersenyum lagi, dan aku ternyata tidak perlu meledak. Bahkan, saat mereka menampakkan kasih sayang terhadap orang-orang itu, aku pun turut.

Subhanallah, apakah aku sudah sebodoh mereka? Kalau ya, aku bersyukur. Karena, itu berarti aku sudah mulai memiliki kerahiman di hatiku.

Ada orang-orang di sekelilingku yang mengalami apa yang mereka alami, dan orang-orang itu menyikapinya dengan cara yang sungguh jauh berbeda. Dan, sekarang, aku tak habis pikir kenapa orang-orang itu begitu? Kenapa tidak seperti mereka saja?

Ternyata, orang-orang itu tak mengenal kerahiman. Mugnkin karena orang-orang itu tak seberuntung aku.

Aku memiliki mereka, Jidah dan Mamaku. Dua orang terpenting dalam hidupku—selain Hana tentunya. Dari keduanyalah aku secara tak sadar belajar membentuk kerahiman di hatiku.

Saat aku SMA, pada suatu kejadian, aku ternyata telah mempraktekannya. Dan, barulah aku sadar bahwa pada dasarnya kerahiman telah meresap lama di hatiku. Tapi, gejolak jiwa mudaku yang sering berapi-api memadamkan kerahiman itu. Alhamdulillah, ternyata hidup adalah sebuah proses. Dan aku sedang berproses. Dan kini aku menyadari bahwa kerahiman lebih indah dari emosi yang meledak-ledak.

Kerahiman mengajarkanku untuk memaafkan dan memaklumi.

Apa yang kuanggap sebuah kebodohan ternyata sekarang berubah menjadi keindahan. Terutama setelah kepergian Jidah untuk selamanya. Tak pernah sekalipun kudengar ada orang yang berkata buruk tentang Jidah. Semua kenangan tentangnya begitu indah didengar oleh segenap keluarga. Semua orang mendo’akannya.

Dan, ya, aku sangat bersyukur, aku punya dua orang sekaligus yang menjadi role model sempurna dalam kerahiman. Aku mungkin belum seperti mereka, masih jauh perjalananku. Tapi, aku sedang berproses. Insya Allah, suatu hari aku akan seperti mereka, dan anakku Hana akan mempelajari kerahiman melaluiku, dan akan mengajarkannya kepada anaknya nanti.

Amin.

* Kerahiman: kasih sayang

Labels: ,

 
ditulis oleh Nadiah Alwi - Write at Home Mom pada jam 09:49 | Permalink | 0 komentar
Oct 2, 2007
Renungan WAHM: Judul Naskah Fiksi dan Non-Fiksi
Beberapa hari kerja di rumah ternyata membawa banyak manfaat. Aku jadi punya lebih banyak waktu untuk berpikir dan merenung (bukan bengong loh…).

Nah, salah satu perenungan itu adalah tentang judul naskah.

AADJN? Ada Apa dengan Judul Naskah?

Dulu, aku selalu membuat judul setelah naskah selesai. Judul yang muncul di awal naskah ternyata kelahirannya justru paling belakangan. Ibaratnya anak kembar dari seorang ibu yang bernama fiksi, jarak kelahiran antara bayi pertama a.k.a si naskah dan bayi kedua a.k.a si judul bisa sampai setengah jam.

Kenapa begitu?

Begini, karena, buatku, judul itu adalah intisari dari sebuah naskah. Jadi, dia harus sangat bersentuhan dengan keseluruhan isi atau paling nggak benang merah si naskah.

Nah, aku, dalam menulis—dalam hal ini fiksi—, lebih memilih untuk ‘go with the flow’ alias nggak pake plot2an. Paling2 yah ada sedikit bayangan tetang si tokoh atau beberapa adegan, tapi nggak pernah secara keseluruhan. Jadi, kalo lagi nulis, seakan2 jari2ku bergerak sendiri dan aku lebih merasa sebagai seorang pembaca daripada pengarang, karena aku ikut terkaget2 dengan kelanjutan cerita yang diciptakan jari2 ini.

Nah, karena itulah, jaraaaaaaang sekali aku membuat judul terlebih dulu ketimbang naskah. Paling banter ya di tengah2 cerita, itu pernah juga sih, sekali dua kali aja.

Tapi…belakangan ini, ada yang berubah. Sudah selama dua tahun ini—di kantor—kerjaanku adalah menulis non-fiksi. Dan, ternyata, ada yang berubah dari urutan proses kreatifku dalam menulis. Aku menulis judul terlebih dulu! (Dan, jadilah si judul sebagai bayi pertama yang lahir dari si ibu non-fiksi)

Nah, ternyata, setelah beberapa hari ini aku pikir2, alasannya nggak berbeda dengan alasan kenapa aku memilih menulis judul belakangan dalam proses kreatifku saat menulis fiksi. Karena, judul adalah intisari sebuah naskah.

Menulis non-fiksi berbeda dengan menulis fiksi. Dalam menulis non-fiksi, semua sudah jelas: apa yang mau aku tulis, apa yang ingin aku sampaikan. Jadi, untuk membatasi agar aku nggak ngalor-ngidul nggak jelas, maka kubuatlah si judul itu duluan. Jai, si judul itu ibaratnya pager pembatas yang ada setrumnya, kalo aku mulai melenceng, disetrumlah otak ini oleh si judul tadi (kok syerem yak?).

Dulu, kupikir, seumur hidup, aku nggak akan pernah menulis judul duluan, ternyata aku salah. Aku juga dulu pikir aku nggak akan mampu menulis non-fiksi, ternyata aku salah.

Dari perenungan tentang judul ini, aku belajar banyak hal…bukan semata tentang judul fiksi dibuat belakangan dan non-fiksi duluan…ternyata juga tentang perubahan dalam hidup seseorang, dalam hidupku. I think I like changes a lot better than before now…

Labels:

 
ditulis oleh Nadiah Alwi - Write at Home Mom pada jam 16:25 | Permalink | 0 komentar