Mereka mengajarkan tanpa berniat mengajarkan. Mereka mencontohkan tanpa berniat mencontohkan. Tapi, alhamdulillah, aku belajar dari mereka dan aku berusaha mencontoh mereka.
Pelajaran itu adalah kerahiman*.
Dulu, kupikir mereka bodoh. Mereka pernah dihina dan ditindas oleh satu dua orang—yah, lebih juga sebenarnya—dalam hidup mereka. Tapi, kemudian, mereka tetap bisa tersenyum, bersikap sopan, bahkan menyantuni orang-orang tersebut.
Dan, ya, bagiku itu suatu kebodohan. Karena, mereka akan terus mendapat perlakuan semacam itu dari orang-orang tersebut. Mereka dianggap remeh. Toh, mereka takkan bisa marah. Paling kecewa sedikit. Yah, kalaupun orang-orang itu agak keterlaluan, paling-paling mereka hanya akan sedikit mengomel dan omelan itu berisi nasihat, bukan makian—mereka terlalu lembut untuk bisa memaki.
Tapi, ada satu dua hal yang berpengaruh terhadapku. Seperti misalnya, aku ikut kesal dan ikut sakit hati. Karenanya, aku pernah bersikap ekstrim. Aku menjaga jarak terhadap orang-orang itu—sejujurnya karena takut ‘meledak’ dan bersikap tidak sepantasnya karena emosi.
Tapi, itu dulu. Sekarang, aku sedang berproses menjadi seorang yang dewasa. Kuperhatikan semua yang menimpa mereka. Alhamdulillah, tidak menimpaku—ok, aku dapat ‘ujian’ dengan cara lain, jadi bukan berarti aku bebas cobaan :D. Dan, ternyata aku mulai seperti mereka. Aku bisa berbaik-baik lagi dengan orang-orang itu, aku bisa tersenyum lagi, dan aku ternyata tidak perlu meledak. Bahkan, saat mereka menampakkan kasih sayang terhadap orang-orang itu, aku pun turut.
Subhanallah, apakah aku sudah sebodoh mereka? Kalau ya, aku bersyukur. Karena, itu berarti aku sudah mulai memiliki kerahiman di hatiku.
Ternyata, orang-orang itu tak mengenal kerahiman. Mugnkin karena orang-orang itu tak seberuntung aku.
Aku memiliki mereka, Jidah dan Mamaku. Dua orang terpenting dalam hidupku—selain Hana tentunya. Dari keduanyalah aku secara tak sadar belajar membentuk kerahiman di hatiku.
Saat aku SMA, pada suatu kejadian, aku ternyata telah mempraktekannya. Dan, barulah aku sadar bahwa pada dasarnya kerahiman telah meresap lama di hatiku. Tapi, gejolak jiwa mudaku yang sering berapi-api memadamkan kerahiman itu. Alhamdulillah, ternyata hidup adalah sebuah proses. Dan aku sedang berproses. Dan kini aku menyadari bahwa kerahiman lebih indah dari emosi yang meledak-ledak.
Kerahiman mengajarkanku untuk memaafkan dan memaklumi.
Apa yang kuanggap sebuah kebodohan ternyata sekarang berubah menjadi keindahan. Terutama setelah kepergian Jidah untuk selamanya. Tak pernah sekalipun kudengar ada orang yang berkata buruk tentang Jidah. Semua kenangan tentangnya begitu indah didengar oleh segenap keluarga. Semua orang mendo’akannya.
Dan, ya, aku sangat bersyukur, aku punya dua orang sekaligus yang menjadi role model sempurna dalam kerahiman. Aku mungkin belum seperti mereka, masih jauh perjalananku. Tapi, aku sedang berproses. Insya Allah, suatu hari aku akan seperti mereka, dan anakku Hana akan mempelajari kerahiman melaluiku, dan akan mengajarkannya kepada anaknya nanti.
Amin.
* Kerahiman: kasih sayang